Sejarah Kesultanan Banten

Sejarah Kesultanan Banten

Kesultanan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang ada di Nusantara pada masa lalu. Kerajaan Islam ini berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Kesultanan Banten berdiri setelah kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya di wilayah barat bagian pesisir Pulau Jawa untuk menghadang pengaruh dari Portugis pada tahun 1522 Masehi.

Penaklukan wilayah pesisir Jawa Barat atas peran Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati. Kawasan pelabuhan di Tatar Pasundan tersebut kemudian pada tahun 1600 Masehi didirikan sebuah benteng pertahanan yang bernama Surosowan dan menjadi kawasan perdagangan.

Eksistensi kesultanan Banten hampir 3 abad lamanya hingga pernah juga mencapai kejayaannya. Keruntuhan kesultanan Banten disebabkan beberapa faktor, diantara faktor penyebabnya, pertama adalah penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan faktor kedua adalah terjadinya perang saudara, hingga di akhir masa kesultanan Banten, para Sultan Banten hanya sebagai boneka penjajah Hindia Belanda.

Sejarah Berdirinya Kesultanan Banten

Kesultanan Banten

sumber : https://bincangsyariah.com/

Dakwah Islam ke Banten

Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melakukan dakwah Islam ke wilayah Banten bersama Pangeran Walangsungsang. Wilayah Banten saat itu masih bernama Wahanten, di dalam dakwahnya Sunan Gunung Jati menjelaskan kepada penduduk di Wahanten tentang arti jihad atau perang. Sunan Gunung Jati menjelaskan bahwa jihad bentuknya tidak hanya berupa peperangan fisik saja, tetapi jihad bisa bermakna sebagai melawan hawa nafsu sendiri.

Penjelasan tentang jihad inilah yang membuat masyarakat dan pimpinan Wahanten kala itu menjadi tertarik dengan Islam. Kemudian di wilayah Wahanten pesisir, Syarif Hidayatullah menikahi putri dari Sang Surosowan yang bernama Nyai Kawung anten. Pernikahan ini melahirkan dua orang anak yang bernama Ratu Winaon yang lahir pada 1477 Masehi. Sedangkan pada tahun 1478 M lahirlah Pangeran Maulana Hasanuddin. Satu tahun berikutnya pada 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah diamanahi untuk menjadi penguasa kesultanan Cirebon oleh para wali.

Perlawanan Kerajaan Sunda

Dakwah Islam yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah dan putranya Maulana Hasanuddin di wilayah Wahanten membuat resah Prabu Siliwangi yang bernama Jaya Dewata. Keresahan ini timbul karena pengaruh Islam yang dimiliki kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak semakin meluas. Sehingga Prabu Siliwangi dari kerajaan Sunda ini membatasi pedagang muslim untuk singgah di pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda agar pengaruhnya tidak meluas.

Usaha yang dilakukan oleh Jaya Dewata ini dirasa kurang berhasil, maka sang prabu siliwangi akhirnya mencari cara lain dengan berkoalisi bersama Portugis. Sehingga pada tahun 1522 pihak Portugis mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja sunda guna membahas tentang perlawanan kepada kesultanan Islam Cirebon dengan membangun benteng keamanan di Sunda Kelapa.

Asal-usul Banten

Di tahun yang sama Portugis membuat perjanjian bersekutu dengan kerajaan sunda, Maulana Hasanuddin juga membangun keraton Surosowan, alun-alun, pasar, masjid agung dan masjid di kawasan Pacitan. Pembangunan di wilayah tersebut dengan tujuan untuk didirikan sebagai pusat pemerintahan baru. Kemudian dua tahun berikutnya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati membawa pasukan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten. Kedatangan pasukan Islam ini untuk menaklukan wilayah Wahanten Girang.

Setelah Wahanten Girang dikuasai oleh pasukan Islam, maka pusat pemerintahan berada di keraton Surosowan di wilayah pesisir. Pembangunan kompleks keraon Surosowan diselesaikan pada tahun 1526 Masehi. Setelah itu penguasa Wahanten pesisir menyerahkan kekuasaannya kepada Sunan Gunung Jati secara sukarela dan kedua wilayah Wahanten ini disatukan menjadi Banten. Banten ini memiliki status sebagai depaten semacam wilayah provinsi dari kesultanan Cirebon. Setelah itu Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan wilayah Banten diserahkan kepada anakanya Maulana Hasanuddin sebagai pemimpin Banten.

Berdirinya Kesultanan Banten

Berdirinya kesultanan Banten berawal dari peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin sebagai depati Cirebon sekaligus putera mahkota kesultanan Cirebon yang berada di Demak. Setelah peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin, maka dilakukan musyawarah yang dilakukan oleh Kesultanan Cirebon. Namun penguasa Kesultanan Cirebon pada saat itu dipegang oleh Syarief Hidayatullah sedang tinggal di Banten.

Hasil dari musyawarah yang dilakukan pada tahun 1552 Masehi itu menetapkan Pangeran Maulana Hasanuddin yang menjabat sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten) dinaikkan statusnya menjadi sultan atas wilayah Banten. Setelah Maulana Hasanuddin resmi menjadi sultan dari kesultanan Banten, kemudian Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon.

Pemberian Wilayah Kesultanan Cirebon Untuk Kesultanan Banten

sumber : https://www.tribunnews.com/

Setelah berdirinya kesultanan Banten maka wilayah kekuasaan kesultanan Cirebondi bagi dua oleh Sunan Gunung Jati. Wilayah tersebut adalah wilayah sungai Angke dan sungai Cipunegara dengan batas sungai Citarum. Wilayah Kesultanan Cirebon adalah sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara, sedangkan wilayah Kesultanan Banten adalah Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke.

Hasil pembagian wilayah Kesultanan Cirebon untuk Kesultanan Banten di beri nama Jayakarta. Kemudian wilayah Jayakarta ini pada tahun 1568 M dipimpin oleh Kawis Adimarta (Tubagus Angke), yaitu suami dari Ratu Ayu Fatimah, anak ke enam dari Maulana Hasanuddin.

Perluasan wilayah Kesultanan Banten

Pada tahun 1530 Kesultanan Banten memperluas wilayahnya ke Lampung. Sebelum kesultanan Banten memberikan pengaruhnya di Lampung, Syarief Hidayatullah sudah melakaukan dakwah Islam terlebih dahulu ke Lampung. Sehingga sudah ada pemimpin Lampung yang memeluk Islam. Kemudian Maulana Hasanuddin sebagai sultan dari kesultanan Banten berdakwah juga ke Lampung dengan cara melakukan perdagangan kepada raja Malangkabu yaitu Sultan Munawar Syah dari Kerajaan Inderapura. Sehingga Maulana Hasanuddin dianugerahi keris oleh Sultan Munawar Syah.

Pada tahun 1570 M, anak dari Maulana Hasanuddin yang bernama Maulana Yusuf menjadi sultan kesultanan Banten. Kemudian melakukan perluasan wilayah di pedalaman sunda. Generasi selanjutnya tahta kesultanan Banten digantikan oleh anak dari Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad dan melanjutkan ekspansi ke Palembang pada tahun 1596. Perluasan wilayah kekuasaan ini bertujuan untuk dakwah dan mempersempit gerak penjajah Portugis di wilayah Nusantara

Dalam penaklukan ke Palembang, Maulana Muhammad meninggal dunia sehingga. Setelah peristiwa ini terjadi perpecahan pada masyarakat Lampung dan akhirnya ada dua pendapat harus menginduk kemana. Perwakilan dari masyarakat adat Abung yang menghadap sultan ke Banten adalah Minak Semelesem. Sedangkan, dari kalangan masyarakat adat Lampung Abung yang memilih tetap menghadap sultan ke Palembang adalah Mukodum muter alam.

Kerjasama Kesultanan Banten dan Inggris

Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir anak dari Maulana Muhammad setelah menjadi sultan Kesultanan Banten pada tahun 1638. Kemudian melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yaitu kerajaan Inggris. Hal ini diketahui terdapat surat dari sultan Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir kepada Raja Inggris, James I pada tahun 1605 dan kepada Charles I pada tahun 1629 M.

Kerjasama diplomasi ini menghasilkan dengan dibukanya kantor dagang milik kerajaan Inggris di Banten. Selain itu untuk menambah kekuatan militer kesultanan Banten, sultan Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir meminta bantuan mesiu dan persenjataan kepada Inggris.

Blokade Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)

sumber : https://www.kompasiana.com/

Kesultanan Banten sangat bersahabat dengan Inggris, namun sikap kesultanan Banten kepada VOC Belanda sangat berlawanan. Sehingga Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1633 M melakukan penyerangan ke wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Wilayah yang diserang VOC adalah Tanahara, Anyer dan Lampung. Kemudian terjadi peperangan besar antara Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan kesultanan Banten yang dimenangkan oleh kesultanan Banten.

Tidak putus asa, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1634 mengirimkan lagi pasukannya yang lebih kuat untuk menyerang kesultanan Banten dengan cara memblokade seluruh wilayah perairan teluk Banten. Namun pengepungan di perairan pelabuhan Banten dapat digagalkan dengan melakukan pembakaran kapal besar yang disebut Barungut. Peristiwa pembakaran kapal besar Barungut ini dikenal dengan nama Pabaranang.

Penyerangan Kapal Dagang Milik Kesultanan Banten

Tak lekang dengan peristiwa Pabaranang, kemudian Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) kembali melakukan aksinya untuk menyerang kesultanan Banten. Penyerangan kali ini dilakukan pada kapal dagang milik kesultanan Banten yang mengangkut cengkeh dari Ambon.

Kemudian Pangeran Anom atau Abu al Ma’ali Ahmadi (anak dari Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir) sebagai Sultan Banten waktu itu mengirimkan surat kepada Raja Charles I dari Inggis untuk meminta bantuan dalam menghadapi Hindia Belanda di Batavia. Bantuan yang diminta adalah prajurit atau persenjataan berupa meriam dan mesiu.

Perjanjian Dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) saat itu yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen berhasil melakukan perjanjian damai dengan Kesultanan Banten. Sehingga kesultanan Banten menghimbau kepada seluruh masyarakat agar mulai menanam lada.

Puncak Kejayaan

sumber : https://muslim.okezone.com/

Hasil kekayaan kesultanan Banten berasal dari hasil perdagangan untuk menopang pemerintahannya. Monopoli perdagangan lada di Lampung sebagai wilayah kesultanan Banten membuat kemajuan yang cukup pesat dari pemerintahan kesultanan Banten. Perdagangan laut menjadi sarana utama di masa lalu menjadikan Banten sebagai kawasan multi etnis. Kerjasama Banten dengan Inggris, Denmark dan Tionghoa, membuat Banten bisa melakukan perdagangan dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.

Perlawanan Masyarakat

Himbauan penanaman lada terkesan memaksa oleh Kesultanan Banten menimbulkan perlawanan masyarakat di Lampung dan Bengkulu. Perlawanan ini entah faktor himbauan tadi atau faktor mengadu domba masih menjadi tanda tanya. Faktanya masyarakat melakukan perlawanan kepada kesultanan Banten.

Masa Kejayaan Banten

Sultan Ageng Tirtayasa yang telah menjadi sultan Banten pada periode 1651-1682, telah mengukir sejarah kesultanan Banten dengan segala prestasi yang telah dilakukannya. Sultan Ageng Tirtayasa membangun armada yang besar yang terinspirasi dari armada yang dimiliki Eropa dengan mempekerjakan orang Eropa di Kesultanan Banten. Kemudia Banten mengamankan seluruh jalur pelayarannya dengan menaklukkan Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang). Kemudian Banten juga berusaha keluar dari blokade VOC. Sehingga di masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengalami masa kejayaannya.

Banten Dalam Peristiwa Perwalian Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon mengalami gunjang ganjing karena kekosongan pemimpin. Sehingga untuk menghindari kekacauan yang bisa terjadi, maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta sebagai wali sultan hingga ayahnya kembali dari Mataram.

Lepasnya Wilayah Karawang

Kerajaan Mataram yang di pimpin oleh Amangkurat I telah bersekongkol dengan Belanda untuk menghadapi Trunojoyo syang dianggap sebagai pemberontak. Kerjasama Belanda dan Kerajaan Mataram membuat belanda meminta syarat perluasan kekuasaan hingga mencakup wilayah kekuasan kesultanan Cirebon.

Pangeran Wangsakerta sebagai wali sultan Cirebon meminta bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa dalam menghadapi kerajaan Mataram. Kemudian sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram. Namun, Trunojoyo membawa semua tawanan ke Kediri. Sampainya di Kediri, Trunojoyo baru memeriksa semua tawanan dan ternyata ada pangeran Cirebon.

Mengetahui hal itu, Trunojoyo mengembalikan pangeran Cirebon ke Kesultanan Banten. Karena kondisi Cirebon lemah saat itu sehingga wilayah Karawang dikuasai oleh Belanda. Sejak saat itu wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat adalah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya sampai batas sungai Cipunegara.

Penyerangan Banten Kepada Belanda

Beberapa wilayah yang dikuasai oleh Belanda telah ditaklukkan oleh pasukan Banten yang dipimpin oleh Trunojoyo. Diantara wilayah yang sudah ditaklukkan adalah Pekalongan pada tahun 1676 M, Tega ditaklukkan pada tahun 1677 M tanpa peperangan.
Kemudian pasukan Trunojoyo yang dipimpin oleh paman Trunojoyo yang bernama Ngabehi Sindukarti bersama Ngabehi Langlang mendarat di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan.

Pasukan Trunojoyo menuntut dan mengancam kepada wakil Mataram yang berada di Cirebon agar menyerah dan menyetujui beberapa syarat. Diantara beberapa syarat tersebut adalah

  • Cirebon tidak berkuwajiban lagi membayar pajak kepada pihak Mataram
  • Anak-anak dan wanita harus dilindungi oleh tentara Madura
  • Cirebon memiliki pemerintahan sendiri dan di bawah tanggungjawab Sultan Banten
  • Sultan Banten sebagai pelindung Cirebon

Akhirnya beberapa syarat yang bernada ancaman kepada Martadipa wakil dari Mataram diterima. Kemudian kekuasaan diserahkan kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim atau Sultan Cirebon yang ditawan oleh Mataram.

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

Setelah Cirebon lepas dari kekuasaan Mataram, selanjutnya agar tidak terjadi perpecahan dalam pemerintahan Cirebon, solusi Sultan Ageng Tirtayasa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron. Karena penerus kesultanan Cirebon ada tiga orang, yaitu Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakert. Sehingga maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten.

Misi Belanda Menghancurkan Kesultanan Banten

Gubernur Jenderal Belanda Joan Maetsuycker yang telah digantikan oleh Rijckloff van Goens memiliki misi untuk menghancurkan kesultanan Banten. Hal ini terbukti dengan isi surat yang dituliskan kepada pemerintah Belanda. Surat tersebut berisikan ” yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap ”.

Ambisi Pangeran Martawijaya yang telah menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin ingin tetap menguasai kesultanan Cirebon secara penuh. Karena dia putra tertua Sultan Cirebon Abdul Karim dan dia merasa paling berhak mewarisi tahta Cirebon. Untuk mewujudkan keinginannya, Pangeran Martawijaya bekerjasama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Mengetahui rencana Pangeran Martawijaya, kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sedangkan Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) juga menuntut agar dirinya juga bisa berkuasa penuh di Cirebon karena selama ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali kesultanan Cirebon.

Jadi, dari peristiwa inilah dimulainya peperangan antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bersama sekutunya yang berada di Pulau Jawa. Strategi adu domba yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sehingga banyak terjadi peperangan yang berlangsung. Peperangan yang terus berlangsung ini sampai menyebabkan keruntuhan dari kesultanan Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *